Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelarangan penarikan barang kredit macet secara sepihak tidak serta merta membatasi perg
Menurut Suwandi, putusan Sidang Pengucapan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) hanya memperjelas tata cara penarikan barang kredit.
"Eksekusi itu tetap boleh meski ada tapinya," kata Suwandi melalui sambungan telepon, Selasa (14/1)
.
MK menyatakan tata cara penarikan barang kredit bermasalah oleh leasing tidak ada selama ini. Atas hal itu kerap muncul pemaksaan atau kekerasan dari debt collector atau pihak yang mengaku mendapat kuasa dari leasing untuk menagih pembayaran.
"Jika terjadi cedera janji atau wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia [kreditur], melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri," tulis MK.
Tetap Bisa dengan Syarat
Suwandi mengatakan leasing tetap bisa melakukan eksekusi sendiri dengan memberi mandat kepada penagih hutang jika penunggak benar-benar dinyatakan gagal bayar atau wanprestasi. Selain itu bisa juga dilakukan jika nasabah penunggak terbukti cedera janji.
Menurut dia bila dua poin tersebut terpenuhi, tidak mungkin penunggak menolak kendaraannya ditarik secara sukarela. Oleh sebab itu eksekusi bisa dilakukan secara sendiri, tanpa pengadilan.
"Saat kredit kendaraan itu ada juga tandatangan jaminan fidusia. Maksudnya berjanji kalau nanti gagal bayar, bangkrut, itu tidak bisa bayar wanprestasi. Terus dikunjungi tapi tidak bayar juga, namanya cedera janji, kalau sudah gitu masa iya tidak mau sukarela menyerahkan," ungkapnya.
Suwandi mengatakan eksekusi tidak bisa dilakukan jika ada ketidaksepahaman antara leasing dan penunggak cicilan.
Dia mencontohkan terdapat nasabah yang disebut belum membayar, tapi fakta di lapangan sudah melunasi tunggakan lewat penagih hutang. Ia mengatakan berarti itu ada masalah pada internal leasing.
"Berarti itu tidak terlambat, misal duit ditilep sama kolektor. Kalau itu terjadi itu tidak bisa dieksekusi, nah itu harus lewat penetapan pengadilan. Penetapan, bukan keputusan pengadilan," ucapnya.
"Jadi yang dimaksud MK itu yang ke pengadilan adalah orang yang secara berkeadilan mereka tidak wanprestasi dan cedera janji," katanya lagi.
Mengutip situs resmi MK terkait putusan tersebut, jika penunggak telah mengakui adanya cedera janji dan dengan sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusianya, leasing punya kewenangan penuh melakukan eksekusi sendiri.
Tetapi jika penunggak tidak mengakui cedera janji dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka leasing tidak boleh melakukan eksekusi sendiri.
Buat menyelesaikan hal itu, leasing harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri sehingga hak konstitusional (penunggak) debitur dan kreditur (leasing) terlindungi secara seimbang.
Menurut Suwandi, putusan Sidang Pengucapan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) hanya memperjelas tata cara penarikan barang kredit.
"Eksekusi itu tetap boleh meski ada tapinya," kata Suwandi melalui sambungan telepon, Selasa (14/1)
MK menyatakan tata cara penarikan barang kredit bermasalah oleh leasing tidak ada selama ini. Atas hal itu kerap muncul pemaksaan atau kekerasan dari debt collector atau pihak yang mengaku mendapat kuasa dari leasing untuk menagih pembayaran.
"Jika terjadi cedera janji atau wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia [kreditur], melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri," tulis MK.
Tetap Bisa dengan Syarat
Suwandi mengatakan leasing tetap bisa melakukan eksekusi sendiri dengan memberi mandat kepada penagih hutang jika penunggak benar-benar dinyatakan gagal bayar atau wanprestasi. Selain itu bisa juga dilakukan jika nasabah penunggak terbukti cedera janji.
Menurut dia bila dua poin tersebut terpenuhi, tidak mungkin penunggak menolak kendaraannya ditarik secara sukarela. Oleh sebab itu eksekusi bisa dilakukan secara sendiri, tanpa pengadilan.
"Saat kredit kendaraan itu ada juga tandatangan jaminan fidusia. Maksudnya berjanji kalau nanti gagal bayar, bangkrut, itu tidak bisa bayar wanprestasi. Terus dikunjungi tapi tidak bayar juga, namanya cedera janji, kalau sudah gitu masa iya tidak mau sukarela menyerahkan," ungkapnya.
Suwandi mengatakan eksekusi tidak bisa dilakukan jika ada ketidaksepahaman antara leasing dan penunggak cicilan.
"Berarti itu tidak terlambat, misal duit ditilep sama kolektor. Kalau itu terjadi itu tidak bisa dieksekusi, nah itu harus lewat penetapan pengadilan. Penetapan, bukan keputusan pengadilan," ucapnya.
"Jadi yang dimaksud MK itu yang ke pengadilan adalah orang yang secara berkeadilan mereka tidak wanprestasi dan cedera janji," katanya lagi.
Mengutip situs resmi MK terkait putusan tersebut, jika penunggak telah mengakui adanya cedera janji dan dengan sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusianya, leasing punya kewenangan penuh melakukan eksekusi sendiri.
Tetapi jika penunggak tidak mengakui cedera janji dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka leasing tidak boleh melakukan eksekusi sendiri.
Buat menyelesaikan hal itu, leasing harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri sehingga hak konstitusional (penunggak) debitur dan kreditur (leasing) terlindungi secara seimbang.
Posting Komentar